6 Hal yang dipelajari dari Pulau Jinmen: Taiwan yang Terdampar
Waktu
jalan-jalan ke Xiamen, ternyata ada satu pulau milik Taiwan yang terdekat
dengan daratan China. Namanya adalah Pulau Kinmen atau Jinmen yang artinya
adalah gerbang emas dan hanya 2 km saja dari Tiongkok Daratan. Pulau ini
Keinginan melihat saudara satu rumpun ini sungguh membuat saya sungguh
penasaran. Jadi dengan letak geografis yang sangat dekat, akar budaya yang
sama, namun pemerintahan yang berbeda apa yang akan terjadi?
Pagi
jam 7 pagi saya telahberada di dermaga, dan saya harus mengurus imigrasi dan
akhirnya mendapatkan tiket hanya dengan 30 kuai atau seharga 60 ribu rupiah
saja. Perjalanan dengan ferry ini hanya memakan waktu setengah jam saja dan
akhirnya saya sampai di Taiwan. Kota di pulau ini namanya Jincheng, dan atraksi
utamanya adalah kota tua yang bersejarah. Saya sendiri tidak mengenal dan
mengantisipasi seperti apa sih, dan apa yang dicari. Nah berikut ini adalah
hal-hal mengenai pulau Jinmen yang saya kunjungin singkat dari pagi hingga
sore:
1. Kelenteng yang terawat
Pada
masa revolusi kebudayaan, segala hal yang berhubungan dengan kebudayaan nenek
moyang dianggap tabu di daratan China. Hal ini sesungguhnya paralel dengan
revolusi tahun 1966 yang dialami etnis Tionghoa di Indonesia. Kita di Indonesia
menemukan institusi Kelenteng yang harus berbau Buddhist, sedangkan di daratan
China sendiri diharamkan. Dianggap sebagai pembodohan masyarakat.
Nah
melihat ke pulau ini, ternyata masih banyak kelenteng yang masih terawat. Dan
tiap kelenteng itu sendiri memiliki sebuah khas dan cerita. Ada kerinduan,
bahwa komunikasi dengan roh masa lalu masih dianggap sah di sini. Saya sendiri
tidak ikut bersembahyang, cuman ikut masuk dan mengaggumi saja. Ternyata saya
terbayang, kalau kehidupan Tionghoa di Indonesia masih lestari kurang lebih
masih seperti ini. Kakek saya sendiri berasal dari Fujian, tapi di daratan
Fujian sendiri sudah berubah oleh wajah komunis. Jadi kalau aneka macam
kelenteng lebih bisa terasa atmosfernya di pulau Jinmen.
Dai Tian Temple |
Ukiran naga yang detail dari Beizhen |
2. Bangunan ala Fujian
Bangunan
di sini tuh kebanyakan berumur seratus tahun. Dengan latar belakang, para
penduduk setempat banyak melakukan migrasi makanya ada perubahan gaya dari gaya
tradisional jadi tradisional kebarat-baratan. Nah bangunan seperti ini tu
menyebar ke Asia Tenggara, China bagian selatan seperti provinsi Guangdong,
Fujian, Hong Kong. Namanya adalah gaya eklektik, yaitu bangunan yang mengambil
ornamen kejayaan masa lalu yang dibuat secara kekinian. Bangunan seperti ini
sudah banyak punah di Indonesia karena sudah lapuk, kalau di Jinmen masih
lestari dan diinterpertasi ulang.
Bangunanya
umumnya teridir dari dua lantai, dengan bata merah, dan biasanya dibangun
dengan gaya pilar Hellenistik atau bangunan setengah lingkaran. Biasa
gerbangnya masih ditulisi dengan kaligrafi dan patung penjaga. Imaji tentang
rumah ini rasanya berbentuk seperti rumah saya jaman dulu di daerah jalan
Kelenteng di Bandung. Memang bentukannya merupakan modifikasi lokal daerah
Jinmen, cuman rasa elektisnya masih sama. Saya sendiri sangat betah dengan
bangunan di sini, memang kalau buatan satu leluhur jadi lebih nyaman.
Untuk
melihat tinggal tersesat saja di tengah kota Kincheng:
Mofan
Street berada di kota Jincheng memiliki bangunan batu merah seperti ini:
|
Ini
adalah kumpulan bangunan paling terawat, di Shantou Culture Village
|
Bangunan
ala Western yang berada di Jincheng
|
Bangunan
terawat di Shantou
3. Sekolah Pintar dan Pendidikan
Para
pengembara menjelajah dunia untuk bekerja, berdagang dan mengumpulkan harta.
Walaupun banyak pekerjaan yang dianggap tidak memiliki martabat, namun satu hal
yang para leluhur selalu ingat yaitu pendidikan! Harta yang dikumpulkan oleh
para leluhur itu dikembalikan dengan membuat sekolah.
Para
leluhur telah mengerti, bahwa perbedaan jurang antara Asia dan dunia Barat
adalah pendidikan. Jadi para penggembara ini membangun sekolah di kampung
halaman masing-masing. Seperti dulu di Bandung juga para Tionghoa sporadis
membangun sekolah khas Tionghoa di Bandung. Dulu di dekat rumah ada sekolah SMP
25, yang dulunya merupakan sekolah Tionghoa. Namun ditutup karena belajar
bahasa Mandarin dianggap komunis.
Di
Jinmen sendiri, ada satu bangunan sekolah yang dibuat menjadi museum.
Bangunannya sendiri masih menyimpan properti sekolah seperti kursi dan papan
tulis. Satu hal yang mengesankan, bahwa pendidikan itu terbuka baik untuk anak
laki-laki dan perempuan. Pengentasan buta huruf ini sudah sangat digalakan.
Jadi wajar kalau sampai sekarang orang-orang keturunanya masih sangat terobsei
dengan pendidikan dan karir yang baik, karena pencapainya sesungguhnya tidak
mudah.
Salah
satu sekolah di Shantou
4. Seven Eleven
2 km
dari Xiamen dan Jinmen memiliki satu perbedaan besar, yaitu produk keduanay
berbeda. Memang dasar orang kota, salah satu hobi saya waktu berjalan-jalan ya ke
Seven Eleven. Saya menghabiskan waktu dengan melihat produk apa yang berbeda.
Karena saya lebih yakin dengan produk Taiwan, saya makan buah-buahan di sini.
Rasanya lebih segar ( atau cuman perasaan aja)
5. Patung Singa Angin
Satu
pulau ini punya simbol tersendiri, seekor patung dewa Angin. Pada tahun 1700an
pulau ini memiliki tanah yang subur. Namun pohon-pohon banyak digunakan sebagai
kapal, sehingga tanahnya menjadi tandus. Para penduduk setempat memasang patung
tersebut dan menjaga kembali alam di Jinmen. Ternyata dengan bantuan dewa
tersebut yang membawa angin, maka Jinmen kembali menjadi Pulau yang subur, dan
dewa Singa Angin masih dipercaya sebagai pelindung pulau.
Terdapat
63 patung yang telah disucikan dan bermakna bagi penduduk setempat. Nah kalau kamu lagi jalan-jalan ke sini cari
deh 63 patung tersebut biar bisa dapet hadiah resmi dari pemerintah setempat.
Aneka Macam Patung Singa |
6. Kirim Uang ke kampung Halaman
Diorama tempat penerimaan uang dari daerah rantau |
Ternyata
jaman dulu para perantau-perantau dari China daratan tidak lupa untuk
mengirimkan uang bagi keluarga asal. Para perantau ini biasanya meninggalkan
istri ataupun anak di rumah. Walaupun hidup dengan sangat hemat di daerah
perantauan, mereka mengirimkan banyak uang ke kampung halaman. Dan di Shantou
diberi ilustrasi tentang kehidupan mereka.
Hal
ini bikin merinding, karena pada jaman dulu orang perantau itu hidupnya sangat
sulit yang juga dialami oleh kakek saya. Sekarang udah berasa nikmat di daerah
rantau, di Bandung. Kalau saya sudah betah di sini, dan rumah saya sudah di
sini. Cuman bagi orang dahulu, mereka selalu untuk menantikan untuk pulang.
Terima kasih. sangat menginspirasi. satu hal, alangkah bagusnya kalo setting fotonya dibikin full margin biar kelihatan besar tanpai klik lg. salam rantau
BalasHapusterima kasih atas masukannya... sudah diperbesar fotonya. Salam rantau
BalasHapusBro, mau nanya kl dr xiamen ke pulau kinmen apakah harus punya visa taiwan? Apakah hrs mengajukan visa taiwan dari jkt sblm brgkt ke xiamen?
BalasHapusharus punya visa China yang multiple loh... ati ati uda keluar China gak bisa balik masuk. Ia ajuin dulu visa Taiwan di Indonesia.
HapusWow ulasan sangat menarik, kebetulan kakek saya jg asal Quanzhou, Fujian.. sewaktu mudik ke kampung halaman Maret 2017 lalu, seolah2 meningatkan betapa kerasnya kehidupan leluhur kita di masa lalu...
BalasHapusTerima kasih atas komennya. Leluhur masa lalu benar benar tangguh
HapusPak Lucky nanya di kinmen jalan sendiri apa ikut tur? terima kasih
BalasHapusjalan sendiri.. naik ferry dari Xiamen. Pulaunya kecil dan ada transportasi bus juga dan bisa eksplor seharian.
BalasHapus