Walaupun Malaysia adalah negara Islam yang konservatif,
keberadaan orang Tionghoa di sini jauh lebih harmonis daripada di Indonesia.
Mereka lebih ngeh dengan perbedaan, dan hidup berdampingan. Kalau di Indonesia
identitasnya Tionghoa dipreteli sampai habis, di KL saya masih melihat atribut,
bahasa, arsitektur yang masih hidup secara turum menurun tanpa ditusuk di
tengah jalan.
|
Restoran ala Baba Nyonya yaitu Old China. |
Berbeda dengan kota kelahiran saya di Bandung, Chinatown itu
ada namun hanya tinggal peninggalan saja. Tidak ada sekolah khusus Tionghoa,
kami berbahasa Indonesia, bangunan lusuh bekas kapiten, untungnya masih ada
kelenteng yang masih berwarna terang benderang. Usaha untuk menghidupkan
kembali budaya tidaklah mudah, walaupun ada perayaan kirab budaya . Usaha ini
lebih mirip dengan nostalgia saja, kata pernah dihidupkan dalam satu hari.
Begitu mendarat di Bandara KLIA, saya langsung menuju
Chinatown di KL. Saya sudah menyiapkan rute perjalanan sebelum berjalan-jalan.
Dimulai dari stasiun monorail Maharajalela saya akan mengunjungi bangunan
perkumpulan Chinese Selangor yang dieselsaikan tahun 1923, kelenteng Guan Yin
dan rumah abu Chan See Shue Yuen.
|
Ukiran kayu yang berkaya seni tinggi di Chan See Shue Yuen |
|
Rumah abu yang meriah dengan lampian |
|
Rumah abu Chan See Shue Yuen |
Waktu sudah menunjukan pukul 16.30, saya hanya
sempat masuk rumah abu
Chan See Shue Yuen. Bangunan bergaya Tiongkok provinsi Guang Dong,
dengan detil dekorasi dan ukukiran warna merah, hijau dan kuning. Di depan
pintu yang tinggi terdapat tulisan di sebelah pintu dan pintu pemisah yang juga
diukir. Masuk ke dalam, lapangan luas dan terdapat tempat untuk menaruh hio
yang sangat besar. Bangunan ini sendiri diakui sebagai warisan budaya, dan agak
aneh buat saya masuk ke dalam rumah abu untuk bermarga Chen ini.
Saya melanjutkan menuju kelenteng Guan Yin, dan ternyata
sudah tutup. Di seberang jalan, rumah lingkungan Tionghoa Selangor lebih
merupakan tempat pertemuan dibandingkan tempat wisata. Saya langsung saja jajan
di jalan Petaling namanya Old China Restaurant.
Restoran Old China yang dimaksud adalah Chinanya orang Asia
Tenggara, yang udah terpengaruh sama budaya lokal. Di sini masakn yang
disajikan adalah masakan Nyonya Baba. Bukan cuman China, tapi sudah diperanakan
dengan istri dari Melayu dengan sisipan pendidikan barat. Sama seperti saya
sendiri, darah peranakan dengan pendidikan universitas ala Oxford, sudah bukan
ikut ujian Confisius.
|
Old China, restoran yang menyenangkan |
|
Mee Siam ala Baba Nyonya Malaysia |
|
Kulkas tua di restoran Old China |
Saya datang ke tempat ini sendiri, jadi sangat
repot sekali kalau memesan sayur. Padahal budaya China baik yang di China atau
yang peranakan, mengharuskan makan secara rame-rame. Banyak menu yang disumpit
bersama, jadi sekali makan menunya langsung banyak. Jadi saya tidak sempat
mencicipi ayam goreng nyonya, lemak nenas sotong atau kari kapitan. Saya malah
mencoba masakan berbau Thailand, yaitu mee Siam. Mi Bihun dengan bumbu kecap
dan aneka, ditambah dengan udang dan irisan timun. Rasanya tidak ada rasa Siam,
tetep
rasa ala Nyonya Malaysia.
Komentar
Posting Komentar